Belakangan
ini, muruah perguruan tinggi (PT) di Indonesia kembali tercoreng dengan
hangatnya berita plagiarisme yang dilakukan oleh salah satu universitas ternama
di Jakarta, yaitu Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Bak mencoreng arang di muka
sendiri, sungguh memalukan apa yang dilakukan para oknum terpelajar yang
seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat itu.
Dewasa
ini, tidak sedikit lembaga PT dijadikan sebagai ladang bisnis oleh para
birokrat kampus. Dengan dalih
mempermudah proses kelulusan, cara yang salah justru mereka lakukan dengan
memperjual belikan ijazah dan memberi celah untuk melakukan plagiarisme. Bahkan
mahasiswa tidak harus mengikuti perkuliahan untuk mendapatkan ijazah, mereka
cukup membayar uang dengan tarif yang telah ditentukan dan melakukan proses
wisuda secara formalitas. Padahal seharusnya kampus menjadi wadah perkembangan
nilai-nilai luhur, dimana semua warganya mampu menjunjung nilai-nilai moralitas
yang tinggi dan mengikuti peraturan yang ada.
Demi
meraih gelar Doktor, mereka melakukan plagiarisme atas disertasi yang merupakan
karya ilmiah sebagai syarat mendapatkan gelar itu. Jika sudah diawali dengan perbuatan
tidak terpuji, dikhawatirkan perguruan tinggi di Indonesia hanya akan
melahirkan bibit-bibit Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan bangsa.
Tentunya
hal itu tidak boleh dibiarkan. Pencopotan gelar kepada mereka yang melakukan
plagiarisme tidaklah cukup. Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Perguruan
tinggi dari Kemenristek Dikti harus bekerja lebih ekstra untuk menyelesaikan
skandal ini.
Salah
satu cara untuk menyiasati gejolak kasus ini yaitu harus diciptakan jeda untuk
merumuskan pembaruan yang visioner, dan dalam setiap jeda pasti ada yang
dikorbankan. Disini rektor yang terlibat langsung dengan bimbingan disertasi
dan menjadi promotor harus ikut bertanggungjawab dan dicopot jabatannya. Karena
kesalahan fatal yang dilakukan rektor adalah dengan menetapkan surat keputusan
(SK) bahwa karya ilmiah program S3 boleh menyadur 40% dari karya ilmiah orang lain. SK itu dibuat
setelah Kemenristek datang untuk menutupi kesalahan.
Penciptaan
jeda ini akan sangat efektif, karena selama masa jeda menuju transisi, semua
warga kampus tidak akan terfokus pada satu masalah. Biarlah mereka yang
terlibat dalam skandal plagiarisme diselesaikan oleh pihak-pihak berwajib. Dan
selama masa jeda pula, rumuskanlah agenda-agenda perubahan yang lebih baik..
Biarlah tugas rektor, sementara dilakukan oleh PLH (Pelaksana Harian) sampai
rektor definitif baru terpilih.
Bagi
mahasiswa lain, turutlah membantu mengembalikan muruah kampus dengan fokus
menciptakan prestasi-prestasi. Karena baik atau buruknya sebuah perguruan tinggi
akan terlihat dari prestasi-prestasi yang diraihnya.
Komentar
Posting Komentar