Langsung ke konten utama

"Fajarku Membawa Sinar"

Bruk !! suara pintu membangunkan lelap mataku. Aku hanya bisa melihat bias sorot layar laptop dihadapan wajahku ditengah pekatnya ruangan berukuran lima kali lima meter itu, ruangan yang menjadi tempat istirahat sekaligus ladang penghidupanku. 

Tuk! tuk! tuk! suara langkah kaki kecil menghampiri telingaku. Dari jauh hentakan kaki itu terdengar amat hati-hati, seolah tak ingin ada yang terganggu dengan itu.
Perlahan semakin terdengar, dia semakin dekat, dan kini suara itu ditambah dengan hembusan nafas yang menggoyang rambutku. Sentuhan lembut menyentuh tanganku.

“ayah.. bangun.. sudah waktunya shalat magrib” lirihnya lembut.

Lembut sekali suara kecil itu. Sentuhan tangan kecil membuatku membuka mata sepenuhnya. Kutatap penuh kasih sorot matanya. Bola matanya besar, mirip seperti wanita yang melahirkannya. Aku elus rambutnya yang bergelombang sedikit ikal. Aku baru sadar, dia sangat mirip ibunya.

“ayah tidak ingin mengajakku ke masjid hari ini?” tanyanya dengan polos.

“ayah belum mandi, sayang, ayah juga harus segera menyelesaikan tulisan ayah, pak redaktur mau tulisan ayah dikirim malam ini. Kamu berani nggak berangkat sendiri?” Jawabku sambil tersenyum. Aku berusaha untuk lembut dan memberinya pemahaman.

Terlihat dia menggigit bibir tipisnya, matanya menunjukan sedikit kecewa. Tapi bagaimana lagi, dua minggu ini memang terasa sangat melelahkan. Banyak deadline tulisan yang harus segera diselesaikan. Ditambah bulan depan ulang tahun fajar yang ke 7. Aku ingin mewujudkan keinginannya untuk bisa azan dan berdoa di depan kabah. Dan aku harus menyelesaikan target tulisanku agar bisa segera melunasi biaya travel umrah. 

Ya, rencananya akhir bulan depan aku ingin mengajak fajar umrah. Bukan tanpa alasan aku berjuang mengumpulkan uang. Aku sangat menyayangi anak ini, kami tinggal hanya berdua. Pemikirannya sangat dewasa untuk anak seusianya.

“baiklah, aku ke masjid dulu ya yah. Nanti pulangnya aku belikan ayah nasi pecel mang toto” ujarnya sambil menarik tanganku dan menciumnya.

“Assalamu’alaikum yah” Ucapnya sambil berlalu.

“Wa’alaikumussalam. Eh ini uangnya!” Ucapku sambil membuka laci meja kerjaku untuk mengambil uang.

“nggak usah yah, uang jajanku masih ada sisa” sahutnya dari luar pintu. Bruk ! pintu itupun tertutup lagi.

Aku menggelengkan kepalaku, dan sejenak meregangkan otot-otot yang kaku. Aku melihat detik jam dinding, terasa jarum jam itu berputar lebih cepat dari biasanya, aku sadar waktu untuk shalat magrib segera berlalu. Akupun bergegas mandi, tadinya aku ingin mandi dulu, tapi rasanya waktu tak akan cukup. Akhirnya aku memutuskan untuk berwudhu saja.

Aku menggelar sajadah dan menunaikan kewajibanku pada Tuhan. Setelah itu, biasanya aku membaca satu atau dua lembar mushaf al-Quran, tapi kali ini tidak. Rasanya aku ingin segera menyelesaikan tulisanku. Akupun memutuskan untuk mandi supaya terasa lebih segar sebelum melanjutkan pekerjaanku bergelut dengan tuts tuts keyboard laptop dengan cahaya layarnya yang melelahkan mata.

“Ayah.. ayah.. Assalamu’alaikum” 

Aku mendengar sahutan itu dari luar kamar mandi. Fajar sudah pulang rupanya. Tidak biasanya dia pulang lebih awal.

“yah.. ayah masih lama mandinya? aku bawain nasi pecel kesukaan ayah nih” sahut fajar dari luar kamar mandi.

“bentar lagi selesai, simpan saja dimeja” jawabku

“iya yah, aku tunggu ayah ya yaah.. kita makan bareng. oh iyah, aku mau lihat-lihat photo di laptop ayah ya yah” sahutnya lagi dari luar kamar mandi.
Aku tidak mengiraukannya, tanpa aku jawabpun dia pasti sudah duduk manis depan laptop. Aku biarkan saja dia.

Dan benar saja, ketika aku keluar dari kamar mandi, dia sedang asyik didepan laptop.

“Hey. apa yang kamu lihat di laptop ayah” tanyaku sambil memilih baju yang akan ku pakai.

“eh ayah, ini yah aku lagi lihat photo-photo ayah waktu masih SMA, kok ayah lucu yah. Dulu gendut hehe” guraunya padaku.

“emm.. tapi yah ini siapa? kenapa ada perempuan mengandung memakai seragam SMA?” tanyanya penasaran. 

Aku langsung menghampiri Fajar dan memangkunya, lalu aku memindahkannya ke kursi lain.

“itu teman ayah. Udah kita makan dulu nasi pecelnya, nanti keburu dingin. Abis itu kamu tidur.”

Suasana terasa hening ketika aku dan fajar makan, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Aku melihat ada raut wajah penasaran diwajah Fajar setelah melihat foto itu.

“Alhamdulillah. Udah habis yah. Sini yah biar aku yang buang sampahnya.” Ujarnya sambil membereskan bungkus nasi pecel itu.

“oh iya yah, nanti subuh kita ke masjid kan?” tanya Fajar sebelum berlalu.

“iya sayang” jawabku sambil tersenyum.

Aku kembali membuka lembar kerja di laptopku, aku punya waktu dua jam untuk menyelesaikan tulisanku sebelum akhirnya aku kirim ke redaktur.
Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Angin meraung-raung meniup semesta. Hujan dengan ramainya turun seolah tak memberi kesempatan untuk bintang menghiasi wajahnya malam. Tak terasa gelap semakin larut. Akupun terhanyut oleh malam itu.

Seketika aku teringat sesuatu, segera aku membuka kembali folder SMA ku, aku melihat galeri SMA dan membuka foto itu. 

“semoga kamu tenang disana yah, Nay” gumamku dalam hati mendoakan seseorang.

Mataku rasanya sudah memintaku untuk melelapkannya, tak bisa aku paksa lagi. Segera ku kirimkan hasil tulisanku pada direktur.
Aku menutup laptopku dan meninggalkannya. Seharian ini aku bersamanya. Dan sekarang rasanya aku ingin menjamah tempat tidurku dan merebahkan tubuhku yang lelah. Besok aku harus bangun pagi untuk meeting dengan direktur dan pergi ke travel untuk melunasi tabungan umrah. Sesuai janji, fee tulisanku akan cair besok pagi sebelum meeting.
Malampun berlalu. Bruk !! suara pintu terdengar, kali ini dengan langkah kaki yang lebih cepat dan nafas yang tak teratur. Kali ini bukan sentuhan lembut lagi yang kurasa.

“ayah bangun, kita kesiangan. ayo kita ke masjid yaah. aku nggak mau ketinggalan berzamaah subuh, aku udah janji ke pak ustadz mau adzan subuh, ayah ih ayah” suara Fazar dengan agak berteriak, dia tangannya menggoyang-goyangkan tubuhku.

“diluar hujan sayang, kita berjamaan di rumah saja yah. Anginnya juga kencang. Ayah juga pagi ini juga ada meeting jadi harus berangkat lebih awal, kalau ke mesjid dulu nanti ayah kena macet.” jelasku sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.

“ih ayah, kalau naik mobil ke masjidnya kan nggak akan kehujanan.” pinta Fajar lagi sambil lirih.

“yaudah aku berangkat sendiri aja pakai payung, aku pinjam jas hujan ayah” Ujarnya sambil berlalu. Aku tau ada sedikit kesal dalam hatinya.

“Fajar !! hei sebentar !!” aku mencoba bangkit mengejar Fajar. Bukan apa-apa, hanya saja aku khawatir hujan masih deras sejak malam, ditambah angin kencang.

“hmm ya Allah lindungi Fajar” doaku dalam hati. 

Mega subuh berlalu meninggalkan dingin yang  menusuk pada jiwa yang sedang resah. Mataku tak bisa berhenti memandangi jam, detik jam dinding terasa menakutkan sekarang.

“Ya Allah Fajar kamu kemana kok belum pulang sih” resahku dalam hati.

Akhirna ku putuskan untuk menyusul Fajar. Jarak rumahku ke masjid memang agak jauh jika dijangkau dengan jalan kaki. Aku memutuskan untuk memakai mobil. Aku bergegas mengambil kunci dan ketika aku hendak keluar membuka pintu, tiba-tiba seseorang menghampiriku, sambil berlari dengan nafas terengah-engah.

“Assalamu’alaikum pak Gilang” Ucap orang itu, dia adalah mang Toto, tukang nasi pecel langganan Fazar.

“Wa’alaikumussalam, mang Toto kenapa terengah-engah begitu? coba-coba ceritakan pelan-pelang” Ujarku sambil menenangkan. 

“Fajar pak. Fajar.” mang Toto mencoba menjelaskan

“iya Fajar kenapa?” tanyaku semakin khawatir.

“Pohon di pertigaan dekat masjid roboh, dan ketika Fajar mau pulang dari masjid, tertimpa pohon itu. sekarang dia di Rumah sakit” Jelas mang Toto.
Seketika dunia terasa gelap, hatiku sesak. Lebih menusuk dari hujan dan dingin tadi malam. Kakiku terasa tak menapak. 

“Fajar..” Rintihku

Aku langsung bergegas ke Rumah sakit. Aku menuju ruang UGD sebagaimana mang Toto bilang Fajar masih disana. Seorang dokter menghampiriku.

“maaf, keluarganya nak Fajar?” tanya dokter itu.

“iya pak saya ayahnya. Bagaimana keadaan Fajar pak?” Tanyaku dengan sangat khawatir.

“kami harus segera melakukan tindakan pak, ada luka di bagian lutut kaki kanan Fajar yang kalau dibiarkan akan membusuk, dan kami harus melakukan amputasi, atau luka itu akan menjalar ke bagian lain.” Jawaban dokter itu sangat menghancurkan hatiku.

Kenapa harus Fajar, dia anak yang soleh. Kenapa bukan aku?

“lakukan saja yang terbaik dok” jawabku dengan pasrah.

“baiklah kalau begitu silahkan bapak segera membereskan administrasi, agar kami bisa segera melakukan tindakan” lanjut dokter itu lalu kembali ke ruang UGD.

Kali ini aku bingung memikirkan biaya administrasi, aku mundar-mandir di depan ruang UGD. Aku melihat kunci mobil. Tanpa fikir panjang aku bergegas keluar dan berniat menjual mobilku. Ketika aku hendak tancap gas, ada sebuah pesan whatssapp masuk. 

“fee tulisan anda sudah kami transfer ke rekening anda, siahkan dicek” isi pesan itu.

Alhamdulillah, Allah masih memberi jalan. Aku akhirnya pergi ke ATM untuk mengambil uang itu. ketika di ATM aku sempat bingung, harusnya uang ini aku setorkan untuk tabungan umrah. Ah sudahlah, mungkin belum saatnya.

Operasi amputasi berjalan lancar. Fajar sudah dipindahkan ke ruang inap. Aku tidak beranjak sedetikpun dari sampingnya. Ada rasa sesal menyelimuti, andai subuh tadi aku berangkat ke masjid, mungkin tidak akan seperti ini. Air mataku tak berhenti menangis. Aku teringat pesan Nayla, sahabatku.

“Ayah..” suara lembut itu menghentikan tangisku.

“ayah aku mau bangun. Kaki ku kenapa kaku ya yah?” tanya Fajar semakin membuatku terpukul
Fajar membuka selimutnya, dan melihat kaki kanannya tinggal sebelah.

“ayah kaki Fajar kemana?” tanya Fajar penasaran

“maafin ayah ya sayang. Allah sayang sama Fajar. Fajar harus kuat.” Ujarku menguatkan dengan menahan air mata.
Fajar mengusap air mataku, seketika sorot matanya membayangka sesuatu. 

“ayah ingat tidak? dulu aku pernah bilang ingin sekali adzan dan berdoa di depan kabah, didepan Rumah Allah. pak Ustadz bilang, kalau berdoa di rumah Allah pasti dikabulin. Tapi ongkos naik pesawat mahal kan yah?” Fajar menatapku, aku tidak bisa menjawab. 

“pak Ustad bilang, masjid juga rumah Allah, makanya aku selalu ingin shalat dan berdoa di masjid” ujarnya lagi, tak sedikitpun aku melihat air mata yang menetes dari matanya.

“memangnya Fajar mau berdoa apa sama Allah?” tanyaku menguatkan

“aku mau lihat wajah ibu, meskipun lewat mimpi, aku mau doain ibu di surga, aku juga mau doain ayah supaya ayah mau shalat di rumah Allah, tapi sekarang aku nggak punya kaki, aku nggak bisa ke masjid lagi” 
Jawaban Fajar sangat menampar hatiku, kemana aku selama ini, aku dititipi anak yang soleh. Meskipun dia bukan darah dagingku.

“sayang.. kamu sudah melihat wajah ibumu. Foto wanita yang mengandung memakai baju SMA itu ibumu, namanya Nayla. Dia sahabat baik ayah, ayah sayang sekali sama ibumu, sama seperti sayang ayah sama kamu. Ibumu meniggal setelah melahirkan kamu di waktu fajar. Ayah sudah berjanji pada ibumu untuk menjaga kamu. Maafin ayah baru ngasih tau kamu sekarang.”

“berarti, ayah bukan ayah aku? terus ayahku siapa?” tanyanya terkejut.

“stttt... jangan bilang begitu, kamu tetap anak ayah, anak kesayangan ayah, jagoannya ayah. Doakan saja agar ibu dan ayah kamu tenang di surga. Satu lagi, kamu harus tetap ke masjid, nanti biar ayah yang gendong kamu.” Jelasku dengan lembut sambil menenangkan.

“berarti ayah sama ibu Fajar udah nggak ada ya yah? makasih ya Allah, Engkau sudah memberikan ayah pengganti yang sangat menyayangiku. Makasih juga udah ambil kakiku. Dengan begitu, ayah jadi mau gendong aku dan ke masjid bareng. Fajar Sayang ayah” malaikat kecil ini memelukku erat seolah tak mau kehilanganku.

Aku sadar, uang yang selama ini aku cari, ternyata bukan itu sumber kebahagiaan orang yang aku sayang. Dia menginginkan hal sederhana, pergi bersamanya ke masjid dan berdoa di rumah-Mu adalah senyuman untuknya.

-Dian Maryam Sholihah-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“30 Juz Untuk Palestina”

Dokumentasi panitia Menjelang tahun baru, biasanya orang-orang berbondong-bondong pergi liburan ke tempat ramai untuk menyambut pergantian tahun. Tempat favorit yang menarik perhatian pengunjung biasanya adalah pusat kota, camp area , pantai, gunung, dan tempat lain yang menyajikan city ligh yang indah pada malam hari. Semua itu mereka lakukan agar turut merasakan sensasi tahun baru. Namun bagaimana jika menjelang tahun baru justru diisi dengan kegiatan keagamaan?. Hal itu yang dilakukan oleh Komunitas Lingkar Barudak Khitabah (Lebah), salah satu komunitas di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung yang berada dibawah naungan jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Komunitas ini dibina langsung oleh sekretaris jurusan KPI, Dr.H. Aang Ridwan, M.Ag. Jumat malam, 29 Desember 2017, komunitas Lebah kembali menggelar agenda tahunannya. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang biasanya diadakan di Luar kampus, kegiatan bertajuk islami yang d...

BACA AJA BIAR TAU

Assalamu'alaikum :) aku iyang, iyah iyang sayang digoyang nendang 😁 ... i don't know dapet dari mana itu panggilan, but aku adalah orang paling beruntung karena ngerasa jadi orang paling disayang, kebayang kan tuh kalo ada cowo yang panggil "yang"  *ahiiiwwww 😂  .  oke sepakat aja panggil "iyang" . KALO INI SESUAI KTP : Nama : Dian Maryam Sholihah Tempat, tanggal lahir : Ciamis, 4 Juli 1998 Status : belum menikah (tepatnya 'jom...' ) Alamat : Dusun cibiru RT 04 RW 09 Sadananya, ciamis. (jangan heran kalo orang ciamis selalu manis hehe 😁) sekarang jadi anak rantau, gajauh-jauh amat sih yaa masih kejangkau bis. yahh, ceritanya sekarang udah jadi anak kuliahan di salah satu Universitas Islam Negeri di Bandung, prodi Komunikasi dan penyiaran islam (kebayang kan punya calon istri anak komunikasi, komunikasi pasti terjaga 😅 ) aslinya kalem ko, tau kan orang kalem lebih bisa ekspresiin dirinya lewat karya, wiiiih.... gak deng, semua masih da...

"Ciptakan Jeda Untuk Merumuskan Pembaruan yang Visioner"

Belakangan ini, muruah perguruan tinggi (PT) di Indonesia kembali tercoreng dengan hangatnya berita plagiarisme yang dilakukan oleh salah satu universitas ternama di Jakarta, yaitu Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Bak mencoreng arang di muka sendiri, sungguh memalukan apa yang dilakukan para oknum terpelajar yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat itu. Dewasa ini, tidak sedikit lembaga PT dijadikan sebagai ladang bisnis oleh para birokrat kampus.   Dengan dalih mempermudah proses kelulusan, cara yang salah justru mereka lakukan dengan memperjual belikan ijazah dan memberi celah untuk melakukan plagiarisme. Bahkan mahasiswa tidak harus mengikuti perkuliahan untuk mendapatkan ijazah, mereka cukup membayar uang dengan tarif yang telah ditentukan dan melakukan proses wisuda secara formalitas. Padahal seharusnya kampus menjadi wadah perkembangan nilai-nilai luhur, dimana semua warganya mampu menjunjung nilai-nilai moralitas yang tinggi dan mengikuti peraturan yang ada. ...